"Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan-jaya. Indonesia sejak dulu kala selalu dipuja-puja bangsa". Itulah sepenggal syair lagu yang "mungkin" sebagian besar rakyat Indonesia sudah hafal dan paling tidak pernah mendengarnya.
Namun pertanyaannya sekarang adalah, benarkah Indonesia (budayanya) masih menjadi pusaka bagi rakyatnya, benarkah Indonesia masih dipuja-puja bangsa dengan kondisinya saat ini ? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing yang masih mengaggap dirinya anak bangsa.
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan William Wongso dan Obin, dua orang putra-putri bangsa yang tentu sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. William Wongso dengan resep masakannya, dan Obin dengan kain tenunannya.
Kami bertemu di Seoul, Korea Selatan karena mereka sedang menjalankan urusan masing-masing.
William Wongso datang ke Seoul karena diangkat sebagai duta promosi wisata Korea, hal ini berangkat dari acara tayangan Cita Rasa William Wongso disebuah stasiun tv di Indonesia.
Dengan pengangkatan itu William Wongso akan mempromosikan masakan Korea di Indonesia melalui acara tv tersebut, (bukan masakan Indonesia di Korea).
Sementara itu Obin datang ke Seoul untuk mempersiapkan sebuah pameran hasil karyanya yaitu kain tenunan dan batik yang sudah dijadikan sebagai warisan budaya internasional oleh UNESCO.
Menurut saya kedua orang ini sangat berpotensi untuk mempromosikan Indonesia (kebudayaannya) ke masyarakat global. Dan... saya yakin masih banyak anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai "pusaka abadi nan-jaya yang dipuja-puja bangsa".
Satu hal yang menarik dari jawaban kedua orang ini, ketika saya tanyakan tentang kepedulian pemerintah dalam melestarikan sekaligus mempromosikan budaya nasional. Mereka menjawab, pemerintah Indonesia sudah terlalu sibuk jadi alangkah baiknya jika kita (anak bangsa) tidak terlalu menggantung harapan pada pemerintah. Mungkin ada benarnya, walaupun tidak 100%.
Saya masih ingat, seorang mantan menteri pariwisata Indonesia era presiden Soeharto pernah mengatakan Indonesia sangat kaya akan budaya dan luas wilayah. Jika peta Indonesia di letakkan di atas peta Eropa, maka Indonesia sama dengan 30 negara di Eropa. Artinya, jika semua tradisi-budaya itu digali, dilestarikan sekaligus dipromosikan, maka semua itu menjadi "kekuatan pemersatu" sekaligus "sumber pendapatan nasional". Kita harus dapat menjelaskan bahwa "suku batak" itu berbeda dengan "suku jawa", sama berbedanya antara "orang Inggris" dengan "orang Jerman". Bahasa suku Asmat di Irian Jaya sangat berbeda dengan bahasa Aceh, seperti halnya bahasa Prancis dan bahasa Rusia. Rasa masakan orang Ujung Pandang di Sulawesi berbeda dengan Pontianak di Kalimantan, seperti halnya Italia dan Turki, dsb.
Namun semua perbedaan ini di kemas dalam satu wadah yang bernama "Negara Kesatuan Republik Indonesia". Kalau begitu apa yang kurang ??? Tidak ada yang kurang !!! Tinggal bagaimana kita mengelolanya, serta mendidik generasi muda kita untuk lebih mengenal, mencintai dan peduli tradisi-budaya bangsa, sehingga Bhineka Tunggal Ika dan lagu Indonesia Tanah Air Beta, buka hanya simbol dan retorika belaka.